Meskipun, perintah shalat tidak diinformasikan secara eksplisit dalam firman-firman Allah yang terkait dengan peristiwa tersebut, tetapi perjalanan Isra' Mi'raj itu sendiri memberikan pelajaran tentang cara mencapai shalat yang khusyu'. Dengan kata lain, jika anda ingin shalat yang khusyu' tirulah proses yang terjadi pada Rasulullah saw saat mengalami Isra' Mi'raj. Apa sajakah yang terjadi pada Rasulullah saw yang terkait dengan kekhusyu'an shalat? Di antaranya adalah beberapa hal berikut ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa menjelang peristiwa yang sangat fenomenal itu Rasulullah saw mengalami tahun yang sangat memprihatinkan. Dalam tahun-tahun itu Rasulullah saw mendapatkan tekanan batin yang sangat berat. Yang pertama, umat Islam pada waktu itu mendapatkan tekanan dari kaum Quraisy secara ekonomi. Perdagangan dipersulit, hubungan dan komunikasi dengan pihak-pihak lain sangat dibatasi, bahkan untuk mencari kebutuhan sehari-hari pun mereka sangat kesulitan. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah saw tentu sangatlah prihatin. Itulah masa-masa terberat dalam perjuangan beliau menegakkan ajaran Islam yang dibawanya. Yang kedua, beliau ditinggal wafat istri yang sangat dicintainya. Siti Khadijah adalah istri yang setia mendampingi suami dalam kondisi suka maupun duka. Bahkan sejak beliau belum menjadi Rasul sampai beliau diberi tugas untuk menyampaikan risalah dan mengalami tekanan-tekanan yang semakin besar dari kaumnya. Siti Khadijah selalu memberikan dukungan, baik yang bersifat material maupun moral. Dan yang ketiga, keprihatinan Nabi semakin besar tatkala Allah juga memanggil wafat paman beliau, Abu Thalib.
Dialah paman Nabi yang selalu membela keselamatan Nabi terhadap tekanan dan serangan serangan kaum Ouraisy Beliau adalah benteng yang selalu siap mengamankan Nabi dalam situasi apa pun. Maka, kaum Quraisy merasa segan karenanya. Nah, orang yang demikian dekat dengan beliau itu pun meninggal.
Bahkan yang sangat memprihatinkan Rasulullah saw, Abu Thalib meninggal tidak dalam keadaan muslim. Beliau meninggal dalam keadaan 'diperebutkan' antara kaum Quraisy yang menjadi teman-teman Abu Thalib dalam kemusyrikan dengan Nabi yang ingin mengislamkan beliau. Maka, ketika pamannya belum sempat membaca syahadat sampai di akhir sakaratul mautnya, dan malaikat lzrail lebih dulu mencabut jiwanya, menangislah Nabi dalam kesedihan. Beliau sangat terpukul, karena orang yang sangat dekat dan menjadi pembela beliau temyata tidak mati dalam keadaan muslim.
Sungguh bertumpuk tumpuk kesedihan Rasulullah saw. Tekanan kehidupan ekonomi sedemikian beratnya, ditambah kematian istri dan pamannya yang sangat dicintainya, membuat Nabi sering termenung mengevaluasi perjalanan hidup dan perjuangannya menegakkan agama Allah. Pada saat seperti itulah Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemui Rasulullah saw dan mengajaknya melakukan perjalanan Isra' Mi'raj yang sangat bersejarah itu. Nah, tiga hal itulah yang ingin saya sampaikan kepada pembaca, bahwa di dalamnya terkandung pelajaran yang sangat berharga. Secara menyeluruh ketiga peristiwa itu menggambarkan dicabutNya 3 Ta dari kehidupan Rasulullah saw, menjelang keberangakatan lsra' Mi'raj. Yaitu, harTa, tahTa dan waniTa. Tekanan ekonomi yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap umat Islam mengambarkan tentang hilangnya pegangan terhadap harta benda Duniawi. Meninggalnya paman Nabi, Abu Thalib menggambarkan hilangnya perlindungan dan rasa aman secara manusiawi. Dalam hal ini adalah dicabutnya kekuasaan yang melingkari Rasulullah saw. Sedangkan meninggalnya Siti Khadijah sang istri tercinta, adalah sebuah gambaran tentang dicabutnya peranan seorang wanita dalam kehidupan beliau.
Kenapakah Allah mencabut ketiga hal itu dari Rasulullah saw? Ini berkait dengan kekhusyukan yang akan diajarkan Allah kepada Rasulullah saw dalam perjalanan beliau, menghadap Sang Maha Agung. Dengan dicabutnya ketiga hal itu, seakan- akan Allah ingin mengajarkan, jika kita ingin menghadap kepada Allah dengan khusyuk, maka singkirkanlah jauh-jauh ketiga hal itu dari benak dan kehidupan kita. Setidak- tidaknya untuk sesaat.
Dengan kondisi seperti itu, Rasulullah saw seperti tidak memiliki apa-apa lagi dalam kehidupannya kecuali Allah Sang Maha Pengasih. Tidak ada lagi kebergantungan kepada harta benda. Tidak ada lagi rasa aman yang digantungkan kepada manusia. Dan tidak ada lagi rasa kecintaan yang bersifat duniawi, meskipun kepada orang-orang yang sangat dicintai.
Yang ada di hadapan beliau hanya Allah Azza Wajalla. DIAlah yang memiliki segala kesenangan harta Duniawi. DIA juga yang memiliki Kekuasaan dan Keperkasaan, serta bisa memberikan rasa aman. Dan DlA juga yang memberikan rasa kedamaian dalam Kasih Sayang yang sejati dan abadi. Maka cukuplah Allah sebagai Tuhan yang memberikan segala- galanya. Sungguh, Rasulullah saw mencapai tingkatan kepasrahan yang luar biasa pada waktu itu.
Nah, dalam kondisi demikian, Rasulullah saw diajak Jibril untuk menghadap kepada Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Tentu kita bisa membayangkan betapa khusyuknya beliau saat itu. Inilah pelajaran yang bisa kita ambil dari persiapan Rasulullah saw ketika akan menghadap kepada Allah. Kondisi kejiwaan seperti inilah yang mesti kita tiru ketika mau menjalankan shalat. Jika mau khusyuk, kita harus bisa menghilangkan 3 Ta dari benak kita menjelang ibadah shalat kita. Buanglah jauh-jauh beban beban pikiran yang berkaitan dengan pekerjaan dan mencari nafkah. Toh, itu hanya dihilangkan untuk sementara waktu. Paling- paling hanya untuk sekitar 15 menit saja. Janganlah shalat kita yang hanya beberapa menit itu masih juga diganggu oleh pikiran-pikiran yang berkait dengan pekerjaan, sehingga tidak khusyuk.
Yang kedua, jauhkanlah juga pikiran-pikiran yang berkait dengan kekuasaan dan jabatan. Apa yang kita peroleh dalam jabatan itu semata mata hanya milik Allah. Jabatan itu suatu ketika pasti akan lepas dari genggaman kita. Sehingga sungguh tidak pantas bagi kita untuk membangga-banggakan jabatan itu. Apalagi menyombongkannya di hadapan Allah. Kesombongan itulah gangguan utama dalam kekhusyukan shalat kita. Kesombongan ini menyebabkan kita 'besar' di hadapan Allah. Padahal pada hakikatnya kita 'sangatlah kecil' di hadapanNya.
Yang ketiga, buanglah jauh-jauh rasa kecintaan kepada Dunia. Gantilah dengan memupuk rasa kecintaan kita kepada Allah saja. Kecintaan yang diwujudkan dengan rasa keikhlasan dan ketaatan hanya kepadaNya. Itulah yang disebut sebagai berserah diri hanya kepada Allah. Dengan bahasa yang berbeda, seluruh niatan ibadah kita adalah lillaahi Ta'ala. Maka, ketika kita memulai shalat dengan sikap hati yang demikian, Insya Allah pintu kekhusyukan sedang menanti di depan kita.
Kekhusyukan adalah suatu kondisi kejiwaan dimana kita hanya ingat kepada Allah saja. Karena shalat kita itu memang memiliki 2 tujuan utama, yaitu mengingat Allah dan berdo'a, memohon pertolongan atas segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Hal tersebut difirmankan Allah
dalam ayat berikut ini. QS. Thahaa (20):14 "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. " QS. Al Baqarah (2): 45 "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu"
Demikian pulalah kondisi kejiwaan Rasulullah saw saat melakukan Isra' Mi'raj. Seluruh jiwa raganya hanya tertumpah kepada Eksistensi dan Kebesaran Allah semata. Beliau berdzikir kepadaNya dan memohon pertolongan atas segala permasalahan dalam perjuangan yang sedang beliau hadapi. Tak ada lagi dzat yang bisa menolong beliau dari berbagai kesulitan, dan mampu menentramkan hati beliau, kecuali Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Sebagaimana kita ketahui bahwa menjelang peristiwa yang sangat fenomenal itu Rasulullah saw mengalami tahun yang sangat memprihatinkan. Dalam tahun-tahun itu Rasulullah saw mendapatkan tekanan batin yang sangat berat. Yang pertama, umat Islam pada waktu itu mendapatkan tekanan dari kaum Quraisy secara ekonomi. Perdagangan dipersulit, hubungan dan komunikasi dengan pihak-pihak lain sangat dibatasi, bahkan untuk mencari kebutuhan sehari-hari pun mereka sangat kesulitan. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah saw tentu sangatlah prihatin. Itulah masa-masa terberat dalam perjuangan beliau menegakkan ajaran Islam yang dibawanya. Yang kedua, beliau ditinggal wafat istri yang sangat dicintainya. Siti Khadijah adalah istri yang setia mendampingi suami dalam kondisi suka maupun duka. Bahkan sejak beliau belum menjadi Rasul sampai beliau diberi tugas untuk menyampaikan risalah dan mengalami tekanan-tekanan yang semakin besar dari kaumnya. Siti Khadijah selalu memberikan dukungan, baik yang bersifat material maupun moral. Dan yang ketiga, keprihatinan Nabi semakin besar tatkala Allah juga memanggil wafat paman beliau, Abu Thalib.
Dialah paman Nabi yang selalu membela keselamatan Nabi terhadap tekanan dan serangan serangan kaum Ouraisy Beliau adalah benteng yang selalu siap mengamankan Nabi dalam situasi apa pun. Maka, kaum Quraisy merasa segan karenanya. Nah, orang yang demikian dekat dengan beliau itu pun meninggal.
Bahkan yang sangat memprihatinkan Rasulullah saw, Abu Thalib meninggal tidak dalam keadaan muslim. Beliau meninggal dalam keadaan 'diperebutkan' antara kaum Quraisy yang menjadi teman-teman Abu Thalib dalam kemusyrikan dengan Nabi yang ingin mengislamkan beliau. Maka, ketika pamannya belum sempat membaca syahadat sampai di akhir sakaratul mautnya, dan malaikat lzrail lebih dulu mencabut jiwanya, menangislah Nabi dalam kesedihan. Beliau sangat terpukul, karena orang yang sangat dekat dan menjadi pembela beliau temyata tidak mati dalam keadaan muslim.
Sungguh bertumpuk tumpuk kesedihan Rasulullah saw. Tekanan kehidupan ekonomi sedemikian beratnya, ditambah kematian istri dan pamannya yang sangat dicintainya, membuat Nabi sering termenung mengevaluasi perjalanan hidup dan perjuangannya menegakkan agama Allah. Pada saat seperti itulah Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemui Rasulullah saw dan mengajaknya melakukan perjalanan Isra' Mi'raj yang sangat bersejarah itu. Nah, tiga hal itulah yang ingin saya sampaikan kepada pembaca, bahwa di dalamnya terkandung pelajaran yang sangat berharga. Secara menyeluruh ketiga peristiwa itu menggambarkan dicabutNya 3 Ta dari kehidupan Rasulullah saw, menjelang keberangakatan lsra' Mi'raj. Yaitu, harTa, tahTa dan waniTa. Tekanan ekonomi yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap umat Islam mengambarkan tentang hilangnya pegangan terhadap harta benda Duniawi. Meninggalnya paman Nabi, Abu Thalib menggambarkan hilangnya perlindungan dan rasa aman secara manusiawi. Dalam hal ini adalah dicabutnya kekuasaan yang melingkari Rasulullah saw. Sedangkan meninggalnya Siti Khadijah sang istri tercinta, adalah sebuah gambaran tentang dicabutnya peranan seorang wanita dalam kehidupan beliau.
Kenapakah Allah mencabut ketiga hal itu dari Rasulullah saw? Ini berkait dengan kekhusyukan yang akan diajarkan Allah kepada Rasulullah saw dalam perjalanan beliau, menghadap Sang Maha Agung. Dengan dicabutnya ketiga hal itu, seakan- akan Allah ingin mengajarkan, jika kita ingin menghadap kepada Allah dengan khusyuk, maka singkirkanlah jauh-jauh ketiga hal itu dari benak dan kehidupan kita. Setidak- tidaknya untuk sesaat.
Dengan kondisi seperti itu, Rasulullah saw seperti tidak memiliki apa-apa lagi dalam kehidupannya kecuali Allah Sang Maha Pengasih. Tidak ada lagi kebergantungan kepada harta benda. Tidak ada lagi rasa aman yang digantungkan kepada manusia. Dan tidak ada lagi rasa kecintaan yang bersifat duniawi, meskipun kepada orang-orang yang sangat dicintai.
Yang ada di hadapan beliau hanya Allah Azza Wajalla. DIAlah yang memiliki segala kesenangan harta Duniawi. DIA juga yang memiliki Kekuasaan dan Keperkasaan, serta bisa memberikan rasa aman. Dan DlA juga yang memberikan rasa kedamaian dalam Kasih Sayang yang sejati dan abadi. Maka cukuplah Allah sebagai Tuhan yang memberikan segala- galanya. Sungguh, Rasulullah saw mencapai tingkatan kepasrahan yang luar biasa pada waktu itu.
Nah, dalam kondisi demikian, Rasulullah saw diajak Jibril untuk menghadap kepada Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Tentu kita bisa membayangkan betapa khusyuknya beliau saat itu. Inilah pelajaran yang bisa kita ambil dari persiapan Rasulullah saw ketika akan menghadap kepada Allah. Kondisi kejiwaan seperti inilah yang mesti kita tiru ketika mau menjalankan shalat. Jika mau khusyuk, kita harus bisa menghilangkan 3 Ta dari benak kita menjelang ibadah shalat kita. Buanglah jauh-jauh beban beban pikiran yang berkaitan dengan pekerjaan dan mencari nafkah. Toh, itu hanya dihilangkan untuk sementara waktu. Paling- paling hanya untuk sekitar 15 menit saja. Janganlah shalat kita yang hanya beberapa menit itu masih juga diganggu oleh pikiran-pikiran yang berkait dengan pekerjaan, sehingga tidak khusyuk.
Yang kedua, jauhkanlah juga pikiran-pikiran yang berkait dengan kekuasaan dan jabatan. Apa yang kita peroleh dalam jabatan itu semata mata hanya milik Allah. Jabatan itu suatu ketika pasti akan lepas dari genggaman kita. Sehingga sungguh tidak pantas bagi kita untuk membangga-banggakan jabatan itu. Apalagi menyombongkannya di hadapan Allah. Kesombongan itulah gangguan utama dalam kekhusyukan shalat kita. Kesombongan ini menyebabkan kita 'besar' di hadapan Allah. Padahal pada hakikatnya kita 'sangatlah kecil' di hadapanNya.
Yang ketiga, buanglah jauh-jauh rasa kecintaan kepada Dunia. Gantilah dengan memupuk rasa kecintaan kita kepada Allah saja. Kecintaan yang diwujudkan dengan rasa keikhlasan dan ketaatan hanya kepadaNya. Itulah yang disebut sebagai berserah diri hanya kepada Allah. Dengan bahasa yang berbeda, seluruh niatan ibadah kita adalah lillaahi Ta'ala. Maka, ketika kita memulai shalat dengan sikap hati yang demikian, Insya Allah pintu kekhusyukan sedang menanti di depan kita.
Kekhusyukan adalah suatu kondisi kejiwaan dimana kita hanya ingat kepada Allah saja. Karena shalat kita itu memang memiliki 2 tujuan utama, yaitu mengingat Allah dan berdo'a, memohon pertolongan atas segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Hal tersebut difirmankan Allah
dalam ayat berikut ini. QS. Thahaa (20):14 "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. " QS. Al Baqarah (2): 45 "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu"
Demikian pulalah kondisi kejiwaan Rasulullah saw saat melakukan Isra' Mi'raj. Seluruh jiwa raganya hanya tertumpah kepada Eksistensi dan Kebesaran Allah semata. Beliau berdzikir kepadaNya dan memohon pertolongan atas segala permasalahan dalam perjuangan yang sedang beliau hadapi. Tak ada lagi dzat yang bisa menolong beliau dari berbagai kesulitan, dan mampu menentramkan hati beliau, kecuali Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar